“Yang
paling menyakitkan dari kesendirian adalah bukan disaat kita sedang
bersedih. Tapi justru disaat kita sedang berbahagia. Dimana tidak ada
orang yang bisa diajak tertawa senang untuk sekedar ikut merasakan
kebahagian itu……” jeng Pemi menunduk menyembunyikan tangis.
Hans bergeming, menggumam tak beraturan. Sebulan menghilang membuatnya kikuk didera penyesalan.
“Tapi
sekarang kan tidak lagi, mas Hans sudah datang. Lagian selama mas Hans
pergi, pentungan mas Hans kan di tinggalkan……” keluar juga akhirnya
jawaban Hans.
Jeng Pemi mendongak, wajah sendu mendadak berubah menjadi amarah berbingkai kekecewaan.
“Persetan dengan pentungan……!! Sudah kujadikan kayu bakar….!!”
“Lo…? Kenapa jeng? Ada apa dengan pentunganku?”
“Pentunganmu sudah tamat riwayatnya di tungku perapian.”
“Jeng…… pentungan itu kenapa dibakar?”
“Mas,
aku minta kejujuranmu sekarang. Itu pentungan palsu, kan? Made in China
kan?
Mas Hans beli di Tanah Abang, harganya sepuluh ribuan kan?
Pentungan yang asli mas Hans titipkan di pelukan Jingga, kan……??”
“Siapa yang bilang, Jeng?”
Jeng Pemi menoleh kearah pojok pos Hansip. Kearah Rey si penyair sinting yang meringkuk ketakutan dibalik sarung lusuh kotak-kotak.
No comments:
Post a Comment