Topik pilihan Kompasiana kali ini yang
bertajuk “Kriminalisasi TKI di Bandara” akhirnya menggoda saya untuk
ikut menuliskan beberapa opini dan unek-unek selama bersinggungan dengan
pelayanan di bandara ini. Sebagai salah satu TKI, keberadaan bandara
internasional Soekarno-Hatta adalah bagian dari lokasi peran yang
kujalani semenjak tahun 2006. Keberangkatan dan kedatanganku melalui
bandara ini sekitar tiga sampai lima kali setahun.
Liputan atau tulisan keberadaan
terminal khusus TKI yang dijadikan “sarang” untuk memeras para TKI yang
baru datang kembali ke tanah air sudah tak terhitung jumlahnya. Salah
satu cerita tentang pemerasan yang mungkin terjadi di terminal khusus
TKI itu bisa dilihat di tulisannya rekan Kompasianer kita Mukti Ali.
Bagaimana praktek “pemerasan” yang
dilakukan oknum-oknum di terminal khusus TKI, saya tidak bisa
menceritakan. Karena sejauh ini saya tidak pernah berurusan langsung
dengan keberadaan terminal khusus TKI ini. Setelah pemeriksaan akhir
dari counter imigrasi, biasanya langsung menuju ke belt conveyor tempat pengambilan bagasi. Setelah itu langsung menuju pintu keluar bandara.
Lalu, dimana keberadaan terminal khusus
TKI-nya? Bukankah sebagai salah satu TKI saya seharusnya digiring atau
diarahkan menuju terminal khusus TKI? Selain saya sendiri banyak juga
para TKI yang tanpa hambatan langsung keluar bandara setelah mengambil
bagasinya. Namun, banyak juga TKI (mayoritas TKW) yang ditahan sebelum
mencapai pintu keluar terakhir.
Diskriminasi?
Bagaimana cara mereka membedakan antara TKI yang harus digiring ke
terminal khusus TKI atau dibiarkan melenggang keluar bandara? Apa
bedanya penampilan TKI dengan penumpang non TKI? Nampaknya itu adalah
salah satu keahlian khusus para petugas yang memang dilatih untuk itu.
Dengan hanya mengamati gerak-gerik para penumpang, mereka akan tahu mana
TKI yang akan mereka giring menuju terminal khusus.
Yang menjadi incaran mereka adalah para
TKI/TKW pemegang paspor yang pada lembar halaman paspornya tertulis
sebagai berikut: (lihat contoh ilustrasi no.1 berikut)
Disitu tertulis: KANTOR YANG MENGELUARKAN / ISSUING OFFICE: SUB DIT. DOKLAN TKI
Jika mereka menemukan paspor seperti
ini, hampir dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan akan digiring
menuju ke terminal khusus TKI. Karena pemegang paspor seperti inilah
yang mereka anggap TKI/TKW.
Bandingkan dengan paspor pribadi pada ilustrasi berikut ini:
Disitu tertulis: KANTOR YANG MENGELUARKAN / ISSUING OFFICE: CILEGON. CILEGON adalah kota tempat paspor diterbitkan. Penumpang biasa ataupun TKI formal menggunakan paspor seperti ini.
Para penumpang lainnya termasuk saya
sendiri adalah TKI yang bekerja di luar negeri. Dan saya memegang paspor
seperti ilustrasi gambar no.2. Tapi kenapa hanya pada rekan-rekan TKI
yang memegang paspor seperti ilustrasi no.1 yang mereka incar? Lalu
kenapa pula pemerintah mengeluarkan jenis paspor seperti ilustrasi no.1?
Untuk pemberlakuan diskriminasi-kah?
Apa kriterianya seseorang itu disebut
TKI? Karena bekerja di luar negeri? Jika begitu tentu ibu Sri Mulyani
yang bekerja sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia yang bermarkas di
Amerika adalah juga seorang TKI/TKW. Dan tentu saja jika ibu Sri Mulyani
jika pulang ke Indonesia harus mereka giring juga ke terminal khusus
TKI. Apakah mereka berani?
**********
Pernah, bahkan seringkali saya membantu
TKW untuk ikut keluar dari bandara bersamaan dengan saya. Dengan cara
paspor rekan TKW itu saya yang memegang. Tentu selalu ada pertanyaan
dari petugas tentang identitas rekan TKW yang di sebelah saya.
“Beliau adalah saudara saya…..” kalimat itu yang selalu kuucapkan.
Dan setiap kali petugas mau memeriksa
paspor rekan TKW itu, maka akan terjadi debat berkepanjangan. Karena
sepengetahuanku yang berhak memeriksa paspor seseorang adalah petugas
imigrasi. Namun kegigihan mereka untuk menggiring rekan-rekan TKI/TKW
sangat luar biasa. Terkadang dengan sedikit intimidasi.
“Ini adalah peraturan….. Peraturannya seperti itu, Pak…!!”
sepertinya itu adalah kalimat ajaib yang selalu mereka ucapkan. Namun
ketika ditanyakan mana peraturannya? Mana juklaknya? Mereka akan
kebingungan untuk menjawabnya.
Keberadaan terminal khusus TKI
seyogyanya diperuntukkan untuk membantu para rekan-rekan TKI/TKW yang
kesulitan untuk pulang ke kampung halamannya. Jika rekan TKI/TKW
tersebut ada yang menjemput di luar bandara sana, toh buat apa lagi
mereka diharuskan masuk ke terminal khusus TKI?
Bukan cerita yang lucu ketika tahun
lalu sewaktu aku pulang sempat melihat seorang TKW yang baru datang dari
Arab Saudi bersitegang dengan petugas. Rekan kita TKW ini berulangkali
menjelaskan pada petugas bahwa dirinya bertempat tinggal di kampung Rawa
Bokor. Rawa Bokor adalah Kelurahan yang terletak persis di belakang
bandara Soekarno-Hatta. Dan keluarga yang menjemputnya sudah
berteriak-teriak dari balik kaca lobi terminal kedatangan.
Bagaimana mungkin TKW itu dipaksa masuk
ke terminal khusus TKI untuk menggunakan transportasi dari mereka.
Sementara selepas pintu keluar, andaikan tidak ada anggota keluarga yang
menjemput, akan ada banyak ojek yang siap mengantar ke rumahnya dengan
jarak tempuh hanya dalam belasan menit? Sementara kalau masuk terminal
khusus mungkin harus menunggu keesokan harinya baru diberangkatkan.
Itupun setelah ratusan ribu rupiah berpindah tangan pada mereka.
Hilangkan pembedaan paspor untuk TKI
dengan paspor penduduk biasa. Karena ini adalah salah satu celah bagi
oknum-oknum itu untuk mengidentifikasi para TKI. Dan sudah selayaknya
keberadaan terminal khusus TKI ditiadakan. Karena hanya akan menjadikan
pemerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum itu seolah-olah adalah legal.
Demikian dua poin yang coba saya garis bawahi melalui tulisan ini.
Salam BMI…
* Tulisan lainnya tentang kisah ketika berhadapan dengan petugas yang mengincar TKI untuk digiring ke terminal khusus: Berdebat dengan Penjaga Pintu TKI
**********
No comments:
Post a Comment