Sebelumnya (Bagian-1)
Jatuh cinta pada pandangan pertama.
Itulah tampaknya yang kualami ketika kami masuk dan memarkirkan
kendaraan di salah satu jalan protokokol kota ini, Fujairah. Cuaca
dingin sejuk dengan hembusan angin yang membawa aroma laut segera
menerpa kami begitu turun dari mobil. Kota Fujairah memang indah, di
sudut belakang dikelilingi pegunungan batu yang sambung menyambung. Dan
disudut lainnya langsung menghadap ke teluk Oman. Sungguh perpaduan alam
yang eksotik.
Sambutan teman yang datang menjemput
begitu hangat. Dia adalah sahabat dari teman seperjalananku. Pelukan
seorang sahabat yang baru saja ku kenal terasa begitu tulus dan ikhlas.
Namanya mas Apri Taher, bekerja sebagai paramedis di kota ini. Denyut
nadi kehidupan kota ini serasa telah menyatu dengan jiwanya. Dirinya
begitu kerasan untuk tinggal dan mengabdikan keahliannya di kota ini,
kalau tidak salah dari tahun 2001 lalu. Bersama keluarganya dia
menghabiskan waktu di kota elok nan eksotis ini. Dengan tangan terbuka
mereka menyambut kami dikediamannya untuk sekedar beristirahat dan
menikmati penganan serta teh manis sore hari. Sebelum kami diundang
untuk menyaksikan pertandingan sepakbola sesama tim orang Indonesia.
Ada banyak teman-temannya yang sama-sama
mencari penghidupan di kota ini. Jumlah persis nya dia tidak mengetahui
secara pasti, tapi untuk ukuran kota seperti Fujairah, ratusan orang
Indonesia adalah jumlah yang besar. Itupun belum ditambah dengan
sejumlah pekerja yang bekerja di bidang bangunan yang sifatnya musiman.
Dua tim akan bertarung sore ini. Tim
pekerja bangunan dengan tim paramedis. Sebagian besar para pekerja
bangunan ini adalah para tukang-tukang bangunan. Berkurangnya sejumlah
proyek didalam negeri membuat para pekerja ini mencari lapangan
pekerjaan di luar negeri. Dan kini mereka berlabuh di balik pegunungan
batu ini, Fujairah. Setidaknya ini adalah pilihan yang tepat bagi
mereka. Disaat sebagian laki-laki yang dengan teganya mengizinkan para
istrinya menjadi TKW di luar negeri untuk menjadi pembantu, tapi para
laki-laki perkasa ini tanpa ragu mengajukan dirinya yang menjadi TKI.
Semoga semangat mereka bisa menginspirasi dan menyadarkan para suami
yang masih tega membiarkan para istrinya berjuang di luar negeri dengan
menjadi pembantu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran
para pekerja Indonesia di Fujairah ini adalah buah perjuangan dari
kesuksesan rekan-rekan paramedis. Setelah terjadi krisis moneter yang
melanda Indonesia ditahun 98-an, para tenaga propesional ini mulai
menjajal keahliannya di tanah yang keras dan gersang ini. Dengan
komunitas yang masih sangat sedikit pada saat itu, mereka mencoba
bersaing dan berkompetisi dengan tenaga-tenaga ahli dari negara lain
yang telah lebih dulu hadir disana. Dan berkat keahlian dan kerja keras
mereka juga lah pemerintah setempat mulai menilai bahwa kemampuan
pekerja Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata
.
Kini bukan hanya paramedis yang
berkiprah disana. Bidang-bidang lain pun mulai diisi dengan
posisi-posisi orang Indonesia. Bidang tekhnik telah menghadirkan
beberapa engineer Indonesia yang siap bersaing dengan tenaga-tenaga
asing lainnya. Cuma sayang pada kesempatan kunjungan ini kita tidak
sempat bertemu dengan para engineer itu. Tapi kami sempat bertemu dan
memenuhi undangan makan malam dari rekan Indonesia yang bekerja sebagai
staff penyaluran tenaga kerja untuk wilayah Fujairah.
Apakah rekan-rekan disana merasa puas
dengan keadaan mereka di perantauan ini? Secara finansial kita tidak
bisa mengukur. Tapi jaminan kehidupan, pekerjaan dan rasa aman adalah
dua hal yang pokok.
Nun jauh diseberang sana, Indonesia
sedang berduka ditimpa bencana, Wasior, Mentawai dan Merapi adalah topik
perbincangan mereka sehari-hari. Ditengah kesibukan mereka mencari
nafkah, mereka pun berusaha bersimpati dengan rekan-rekannya yang sedang
menderita di timpa musibah di tanah air. Selembar kertas undangan
ditunjukkan mas Apri Taher. Berisi pemberitahuan tentang rencana mereka
untuk mengumpulkan sebagian rejekinya guna disumbangkan ke pemerintah
Indonesia dalam menanggulangi bencana. Mereka mengkoordinasikan
rencananya dengan rekan-rekan lain di kota tetangga, yaitu Khorfakan.
Demikian sekelumit kisah perjalanan ini. Perjalanan yang penuh pembelajaran. Sungguh ternyata bumi ini begitu luas sebagai ladang pencarian rizki. Terbukti didaerah yang tadinya begitu keras dan gersang dengan pegunungan batu cadas dan karang, ternyata bisa memberikan kehidupan. Dan kisah tentang kehidupan perantauan, tak pernah habis dimakan zaman. Ada kepedihan, kegembiraan, dan kebersamaan.
Kisah sukses rekan-rekan paramedis ini,
yang telah membuka jalan bagi pekerja Indonesia lainnya untuk turut
berkiprah disani patutlah mendapat apresiasi. Semoga kedepan, pemerintah
lebih memikirkan untuk mempersiapkan para pekerjanya sebelum
diberangkatkan. Cukuplah cerita duka tentang TKI dan TKW yang
disengsarakan. Negeri ini tentunya akan lebih diperhitungkan dan
disegani jika duta-duta pekerjanya adalah orang-orang berpendidikan.
Teriring ucapan terimakasih pada
keluarga rekan Apri Taher dan semua sahabat di Fujairah. Sambutan
hangatnya takkan pernah kami lupakan. Silaturahmi semoga selalu dalam
genggaman. Sungguh kami telah jatuh cinta pada Fujairah, dan kunjungan
berikutnya selalu kami impikan. Mari jadikan Indonesia menjadi lebih
bermartabat.
Rekan Kompasianer Mukti Ali di Dubai, mohon maaf belum berkesempatan mampir, semoga dipertemukan di lain kesempatan.
*
*
*
*
*
Salam damai dari lembah gurun Habshan, Abu Dhabi UAE
No comments:
Post a Comment