Menjalani ibadah puasa di bulan ramadhan
sebagai anak kost banyak suka dukanya. Sukanya adalah, kita akan merasa
bangga bisa mandiri dalam menjalankan ibadah puasa, meskipun jauh dari
orang tua. Tapi dukanya juga banyak, terutama pada saat-saat sahur.
Dengan terpaksa harus mencari makanan di
warung-warung terdekat di tengah malam buta. Itupun kalau tidak
kesiangan. Kalau kesiangan, yah… dengan terpaksa pula harus berpuasa
tanpa makan sahur. Atau bahasa kerennya adalah ngirit….. Kalau puasa
tanpa makan sahur bagiku itu adalah hal yang sangat biasa pada waktu
masih bujangan dan hidup sebagai anak kost. Tapi kalau sampai makan
jatah sahur milik tetangga, itu adalah pengalamanku yang paling ku
benci….
Waktu itu aku ngekost disuatu komplek
perumahan yang lokasinya sangat strategis di kota Cilegon. Strategis
karena dekat dengan kampus dan dekat juga dengan kawasan industri.
Hampir setiap rumah dikomplek itu menyewakan kamar untuk di kost kan
pada anak-anak kampus ataupun pekerja yang bekerja dikawasan industri
tersebut. Karena banyaknya orang yang hidup sebagai anak kost, maka
beberapa rumah dikomplek itu juga membuka warung makan ala anak kost.
Yaitu harga makanan yang murah meriah, plus bisa ngutang, hehehehe…
Tepatnya di perumahan komplek Damkar Cilegon, barangkali saja ada para
Kompasianer yang pernah tinggal dan merasakan hidup sebagai anak kost di
komplek itu.
Suatu malam di bulan ramadhan belasan tahun
lalu, kebiasaan burukku yang suka menunda-nunda jam alarm untuk bangun
sahur membawaku pada suatu pengalaman yang sangat ku benci. Beberapa
kali alarm jam beker ku matikan, sampai akhirnya aku terlonjak untuk
bangun. Tapi betapa kaget nya aku karena waktu yang tersisa untuk makan
sahur hanya kurang dari sekitar lima belas menit lagi. Tanpa banyak
berpikir lagi, langsung saja aku ngeloyor ke kamar mandi sekedar untuk
membasuh muka dan sedikit berkumur-kumur. Setelah itu dengan setengah
berlari langsung menuju warung makan langgananku.
Sesampai di warung suasana sudah sepi.
Tinggal sekitar dua orang yang sedang menyelesaikan pembayaran. Tidak
ada lagi pengunjung yang sedang bersantap sahur. Beberapa perabotan
makan juga sudah dirapihkan, yang artinya warung sudah mau tutup.
Etalase pajangan untuk makanan pun sudah kosong, hanya tersisa
piring-piring kosong. Aku kurang beruntung malam itu, karena sebelumnya
ada serombongan anak-anak pesantren kilat yang mengadakan kegiatan sahur
bareng di mesjid komplek itu yang memborong semua makanan di warung si
ibu. Pantas saja tidak ada nasi dan lauk yang tersisa lagi.
Si ibu pemilik warung dan pembantunya
terpana melihat kedatanganku. Apa hendak di kata, nasi dan semua lauk
sudah habis. Mana sempat si ibu warung memasakkan nasi dan telor ceplok
untukku. Tinggalah aku yang terbengong-bengong dalam kekalutan…
Dalam kekalutan yang tidak semestinya itu,
aku mencoba berhitung dengan waktu. Seandainya aku memesan mie instan
rebus plus telor, apakah memungkinkan? Tapi tampaknya itu bukan solusi
jitu, mengingat waktu yang sudah mepet dan tidak bisa diajak kompromi,
tinggal lebih kurang sepuluh menit lagi, bagaimana mungkin? Ya sudahlah,
sepertinya aku harus melewatkan sahur malam ini tanpa menyantap apapun.
Beruntung si ibu warung memberikanku secangkir teh manis hangat sebagai
pengganti makanan. Katanya minimal ada yang masuk ke perutku buat bekal
menjalankan puasaku hari ini. Terimakasih ibu….. Seketika itu juga
ingatanku teringat pada ibuku dikampung halaman sana, I miss you Mom….
Tiba-tiba sesuatu yang belakangan sangat ku
benci itu terjadi. Si mbak pembantu warung makan itu berkata sambil
menawarkan sesuatu.
“Bang, makan aja mie rebus ini…..” katanya
seraya menunjuk satu mangkuk mie rebus yang siap santap. Saya dan si ibu
warung bersamaan menoleh.
“Itu punya siapa? Kok masih ada disitu….??” Tanya si ibu warung.
“Itu tadi kepunyaan mas …… (lupa namanya, udah lama banget sih, tapi yang jelas dia adalah salah satu penghuni kost di komplek ini juga) sudah di bikinin, tapi si mas nya pulang sebentar, katanya ada perlu….., belum sempat dimakan sih….” jawab si mbak.
Si ibu tampak berkerut menimbang-nimbang sesuatu sambil melihat-lihat jam dinding.
“Ya udah Dik, kamu makan aja, toh si mas ……
sudah nggak balik lagi, lagian kalau balik lagi juga keburu imsyak….”
Kata si ibu warung.
“Ya udah deh, daripada mubazir…… nggak apa-apa yah bu saya makan?” jawabku seakan minta persetujuan dari si ibu.
“Sana cepetan makan, enam menit lagi waktu imsyak” jawab si ibu mempersilahkan.
Dan akhirnya ku santap juga mie rebus plus
telor itu. Rasanya sudah dingin, dan mie nya pun sudah sebesar-besar
cacing karena sudah kelamaan. Tapi apa boleh buat, daripada tidak ada
yang dimakan sama sekali. Kira-kira pada suapan yang ke tiga, tiba-tiba
datanglah si mas si pemilik sah mie rebus ini. Dengan nafas
terengah-engah karena berlari dia masuk kedalam warung. Matanya
celingukan seperti mencari sesuatu diatas meja. Jantungku berdegup
kencang ketika dia mendekatiku dan mengambil kacamatanya dari sebelah
mangkuk mie rebus yang sedang kusantap. Aduh, aku jadi tidak enak hati,
bagaimana menjelaskan ini semua. Untung di tengah situasi yang tidak
nyaman ini si ibu warung datang kearah kami.
“Aduh maaf mas ……., ibu kira tadi mas nggak
datang lagi, terus si bang Tri ini datang, karena waktunya sudah mepet,
ya udah ibu kasihkan saja ke bang Tri, daripada mubazir……, ibu yang
salah mas….. maaf yah..” si ibu penuh penyesalan berkata pada si mas.
Si mas yang baik hati ini sempat menoleh ke
arahku yang kusambut dengan senyum memelas penuh penyesalan. Untungnya
si mas balas tersenyum juga penuh pengertian.
“Ya udah gak apa-apa. Tadi aku pulang karena
dipanggil bapak kost ku, katanya ada telpon dari orangtuaku di kampung,
ibu ku sakit keras di Yogya. Makanya aku ke wartel (warung telepon)
dulu tadi buat nelpon…” jawab si mas, kulihat kesedihan di raut
wajahnya.
“Pagi ini juga harus kembali ke Yogya….” Sambungnya.
“Mas, maafkan aku mas, sungguh situasi ini
sangat menyakitkan bagi aku. Aku terpaksa makan jatah sahur yang
mestinya buat mas…, semoga ibunya cepat sembuh…” Akhirnya keluar juga
perkataan maaf dari mulutku. Sungguh aku menyesal sekali.
“Nggak apa-apa…., lanjutkan aja makannya,
sudah hampir imsyak…” Sahutnya bijaksana sekali, sambil meminum segelas
air pemberian si ibu warung. Setelah itu si mas berpamitan……
Tepat suapan terakhirku, terdengar
pemberitahuan melalui speaker mesjid bahwa waktu imsyak sudah tiba. Ku
tutup acara santap sahurku dengan segelas air putih. Alhamdulillah…..
Dan segera aku menyelesaikan pembayaran makanan mie rebus yang
seharusnya bukan untuk jatahku ini. Tapi lagi-lagi aku harus kembali
kecewa dan merasa berdosa, karena ternyata mie rebus itu sudah dibayar
oleh si mas tadi pada waktu dia memesannya. Dan kini si ibu juga
memberikan harga gratis untuk teh manis hangat yang tadi ku minum. Aku
tidak bisa bilang apa-apa….. Terimakasih ibu warung, terimakasih dan
mohon maaf pada mas yang tadi….
Aku melangkah keluar warung menuju mesjid
dengan sejuta penyesalan di kepalaku. Kubasuh muka berwudlu untuk sujud
dihadapanNYA. Dalam kekhusyukan ku berdoa diakhir sholat Subuh,
kupanjatkan doa yang sangat tulus buat ibunda si mas. Ya Allah,
berikanlah kesembuhan pada ibundanya, dan lapangkanlah hati si mas untuk
menerima apapun yang terjadi nantinya.
Tapi tampaknya doaku belum di jawab dan
dikabulakn oleh Allah saat itu. Belakangan ku ketahui ternyata ibunda si
mas ini akhirnya meninggal karena sakit yang di deritanya. Kejadian ini
sudah terjadi belasan tahun silam, dan saat ini serasa semuanya begitu
nyata dan dekat. Sekali lagi aku ingin berdoa, agar ibunda si mas ini
tenang di alamnya sana, dan si mas yang aku lupa namanya ini, semoga
mendapatkan kesuksesan dalam kehidupannya….
Ramadhan kareem,
Salam damai dari lembah gurun Habshan, abu Dhabi UAE
No comments:
Post a Comment