*****
“Aku
mau seperti Kupu-kupu Jingga itu, mas. Selalu menyapa hangat di tiap
kelopak yang di singgahinya. Selalu membawa keindahan pada setiap
kedatangan dan kehadirannya…” suara Jingga pelan berbisik.
Kupu-Kupu
itu terbang begitu dekat dengan tempat duduk kami. Lalu hinggap
diantara kelopak-kelopak dan mahkota Gladiol yang bermekaran. Terus dan
terus berputar anggun dari kelopak yang satu ke kelopak lainnya. Menyapa
hangat setiap mahkota dengan kepakan sayap jingganya. Cantik….
Aku
tak tahu berapa lama aku terbius dengan pertunjukan kolaborasi natural
itu. Harmonisasi perpaduan dua makhluk indah ciptaan Tuhan. Kupu-kupu
jingga dan mekar kelopak Gladiol.
Cantik…. Dan sangat indah.
Seindah kenangan manis bersama sahabat-sahabat kecil di kaki gunung Naras.
*****
“Kalau aku besar, aku mau jadi pilot…” Ade berdiri sambil matanya menerawang ke angkasa.
“Kalau kalian mau jadi apa?” tanya Ade kemudian.
Teman-temannya saling berpandangan satu sama lain. Hanyut dalam pikiran masing-masing.
“Aku mau jadi pelukis,” sahut Lala tersenyum.
“Depe mau jadi pemain bola. Pemain timnas,” Depe menyahut sambil membersihkan ingusnya.
“Kalau Dorma sudah besar….. Dorma mau jadi….. Polwan..!!” Dorma berteriak semangat.
“Dwee dari dulu tetap nggak berubah cita-citanya. Kalau besar nanti mau jadi Dokter gigi,” Dwee menyahut dengan suara pelan.
“Kalau aku sih, pengennya jadi tentara,” Hans ikutan menyahut.
Teman-teman
yang lainpun saling berebutan menyebutkan cita-citanya masing. Rizal
dengan bangga menyebutkan cita-citanya sebagai wartawan. Refo
bersemangat dengan cita-citanya sebagai pembalap. Ningwang ingin menjadi
guru. Bowo berharap menjadi fotografer. Acik dengan cita-citanya
sebagai pengawas hutan. Tidak ketinggalan juga Ibay, Halim, Imels,
Ghara, Roni, Asih, Erwin, Inin, Deasy, Mommy, Icha, Devi, Miss Rochma,
Galang, Kussy, Nyimas, dan Ponky, semuanya bersemangat membanggakan
cita-citanya masing-masing.
Hanya
Jingga yang belum menyebutkan cita-citanya. Dari tadi dia hanya diam
mendengarkan ocehan teman-temannya. Matanya menari kesana kemari seperti
mencari sesuatu.
“Jingga
mau jadi apa, sayang?” tanya kakek Astoko yang ikut mendengarkan
celotehan mereka. Jingga masih belum menjawab. Matanya kembali berputar
lincah ke segala sudut, penuh misteri.
“Jingga…..
Jingga….. Kamu mencari apa, sayang? Apa cita-cita Jingga?” kembali
kakek Astoko bertanya. Tangan keriputnya membelai lembut rambut Jingga.
“Jingga
mau jadi…….…… Kupu-Kupu Jingga…” akhirnya Jingga menjawab dengan suara
terputus. Seketika pecahlah gelak tawa diantara teman-temannya. Semuanya
mentertawakan cita-cita Jingga yang kedengaran sangat aneh, Jingga mau
menjadi Kupu-Kupu Jingga.
“Hahahahahaha….. Kalau begitu Dorma yang jadi ibu peri-nya. Hahahahahaha…..” Dorma tertawa terbahak-bahak.
“Dan aku jadi nenek sihirnya… Hihihihihihi…” Acik menyambung.
Semuanya
semakin keras mentertawakan Jingga dengan cita-citanya. Air mata mulai
menggenang di pelupuk mata Jingga. Dan siap tumpah saat itu juga, kalau
saja kakek Astoko tidak segera melerai dan menenangkan teman-temannya.
Jingga digendongnya dan dibawa masuk ke dapur lewat pintu samping.
Dibelakangnya tawa teman-temannya kembali pecah. Mentertawakan cita-cita
Jingga yang mau menjadi Kupu-Kupu Jingga.
“Kenapa
tidak sekalian jadi Kuda Sembrani saja, ya? Biar bisa terbang menembus
angkasa…” lamat-lamat Jingga masih mendengar suara Hans yang diikuti
gelak tawa teman-temannya.
Akhirnya
tangis Jingga benar-benar pecah. Air matanya mengucur deras tak
terbendung. Kupu-Kupu Jingga kecil menangis sejadi-jadinya dalam
gendongan kakek Astoko.
No comments:
Post a Comment