Bekerja, tinggal dan hidup
di luar negeri bagi sebagian orang adalah sebuah impian. Dimana harapan
untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik bisa digapai. Baik secara
finansial, gaya hidup, ataupun jaminan masa depan. Ada juga yang
berhasrat untuk berkerja dan tinggal di luar negeri karena ingin
mendapatkan pengalaman dan tantangan yang lebih. Namun ada juga yang
“terpaksa” berkerja dan tinggal di luar negeri karena keadaan. Dimana
untuk mencari penghidupan dan pekerjaan di dalam negeri dirasakan
semakin lama semakin sulit.
Adalah Abu
Dhabi, salah satu kota metropolis yang merupakan bagiannya dari Uni
Emirat Arab (UEA). Kota ini bertetangga langsung dengan kota metropolis
lainnya Dubai. Dua kota ini adalah kota yang banyak memberikan magnet
bagi para pencari kerja dari seluruh dunia, termasuk pencari kerja dari
Indonesia.
Awal tahun
2007 ketika pertama kali menginjakkan kaki di Abu Dhabi suatu pertanyaan
yang pertamakali hinggap di benakku adalah, apakah aku akan betah
berdiam disini? Suatu pertanyaan yang sangat relatif dan sangat
bergantung pada kondisi seseorang. Dan sekarang melalui waktu pertanyaan
itu mulai terjawab, karena setidaknya sampai sekarang aku masih
mendiami kota ini sebagai tempat tinggalku.
Secara fisik Abu Dhabi
adalah hampir sama kondisinya dengan kota Jakarta. Dimana jalanan selalu
padat, meski kemacetan sangat jarang terjadi. Gedung-gedung yang
menjulang layaknya belantara beton. Mall-mall dan pusat perbelanjaan
yang megah dan tempat hiburan seperti bar dan diskotik yang begitu
gampang ditemukan di seantero kota. Serta berseliwerannya orang-orang
dengan busana yang “sedikit menantang” di tengah kota.
Sebagai salah
satu ciri kota metropolitan, kondisi diatas adalah sah-sah saja. Dimana
arus globalisasi dan pertemuan berbagai budaya dari seluruh dunia
bermuara pada satu titik, yaitu modernisasi. Namun sebagai kota moderen
yang secara wilayah kawasannya terletak di Timur Tengah, nuansa dan
budaya keislaman juga tidak luntur ditengah derasnya arus modernisasi
yang terus melaju di Abu Dhabi. Di setiap sudut, jalan, perumahan
penduduk, diantara gedung-gedung apartemen yang menjulang, bahkan sampai
ke mall-mall yang megah, akan sangat mudah menemukan mesjid sebagai
rumah ibadahnya umat muslim. Dan pada jam-jam sholatpun mesjid-mesjid
ini kadang kewalahan menampung jemaahnya. Itulah sekelumit Abu Dhabi
yang dilihat secara fisik.
Tantangan
terberat ketika tinggal dan bekerja di luar negeri bagiku adalah ketika
kerinduan akan tanah air begitu tebal. Dimana saat badan terasa jauh
dari keluarga, terpisahkan jarak ribuan kilometer di seberang sana.
Berinteraksi dan bergaul dengan sesama perantau yang berasal dari
Indonesia, adalah salah satu cara untuk mengobatinya. Disamping obat
yang paling mujarab lainnya, yaitu mengambil cuti liburan pulang
kampung.
Di Abu Dhabi,
asalkan kita bisa bergaul dan sedikit luwes dengan sesama orang
Indonesia yang tinggal disini, bukan hal yang sulit untuk mendapatkan
teman. Memang secara jumlah, perantau Indonesia di kota ini belumlah
bisa dibilang banyak. Apalagi jika dibandingkan jumlah perantau
Indonesia yang berada di Arab Saudi ataupun Qatar. Namun setidaknya
kalau untuk berbincang-bincang dan bertukar khabar tentang situasi di
tanah air, tidaklah begitu susah. Tinggal datang saja pada dua restoran
Indonesia yang berada di jantung kota Abu Dhabi ini.
Ada dua
restoran yang letaknya tidak begitu berjauhan. Yaitu Bandung restaurant
dan Sari Rasa restaurant. Di dua restoran ini akan mudah bertemu dengan
sesama perantau dari Indonesia. Sambil makan, minum kopi dan duduk
santai beramai-ramai, cukuplah untuk sedikit mengobati kerinduan pada
tanah kelahiran.
*****
Tahun lalu
sempat pula memenuhi undangan teman-teman yang bekerja di suatu proyek
di salah satu kota di ujung Utara Emirat Arab, yaitu kota Fujairah.
Sempat terkaget karena jumlah mereka sangat banyak, sekitar lima puluh
orang. Hampir semuanya berasal dari salah satu kota di Jawa Barat, yaitu
Kuningan. Mereka bekerja pada bidang konstruksi pembangunan gedung
perkantoran baru. Karena jumlah mereka sangat banyak, tentu tidak
kesulitan bagi mereka untuk terus merasakan suasana di tanah air. Baik
dalam berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam berkerja.
Salah satu
kegiatan mereka yang sangat menarik adalah mereka seringkali mengadakan
kompetisi ataupun pertandingan sepakbola. Biasanya mereka membagi tim
berdasarkan desa asal mereka. Hingga jadilah suasana sepakbola “Tarkam”
(antar kampung) dilangsungkan di Timur Tengah. Cuma kalau di daerah
asalnya hadiah yang diperebutkan adalah Kambing, tapi disini cukup
berupa hadiah kaos seragam atau sejenisnya. Dan selesai kompetisi adalah
bersama-sama menikmati sate bakar ala Sunda.
Salam rantau…
No comments:
Post a Comment