Dua sahabat cilik mas Hans, Syamsinar dan Depe Kecil sedang guling-gulingan di pos Hansip. Suasana sedikit gaduh. Tapi itu tidak mengganggu si Rey penyair sinting
di dalam sarung buluknya di pojok pos. Hans muncul dari kejauhan dengan
tas ransel sandangnya. Wajahnya berbinar setelah liburan panjang.
Syamsinar dan Depe Kecil segera menyambut mas Hans dengan antusias.
Sebuah
bola kulit dan papan catur made in China dikeluarkan. Bola untuk Depe
Kecil, dan papan catur untuk Syamsinar berpindah tangan. Kedua sahabat
cilik berlonjak kegirangan. Lantas keduanya pamit sambil tertawa senang.
Tinggal lah mas Hans dan Rey penyair gila yang mulai bangkit dari
tidurnya.
“Nih, Rey…. Ganti dulu sarungmu dengan yang baru. Biar ganti aroma dulu,” kata mas Hans pada sahabatnya itu.
Rey
tersenyum bahagia menerima oleh-oleh sarung khas Palembang dari Hans.
Ah, meski sering bikin kesal, ternyata mas Hans cukup perhatian padaku,
bathin Rey terharu.
“Rey, tolong antarin pentungan ini ke rumah jeng Pemi.
Biar di bersihkan dulu. Kelamaan liburan jadi kurang terawatt. Nanti
malam sebelum bertugas aku ambil,” perintah mas Hans sambil mengeluarkan
pentungan andalannya dari tas ransel.
“Siap,
ndan…. Terus itu pentungan yang satu lagi? Pentungan
baru ya? Mau
sekalian diantarkan ke jeng Pemi juga?” Tanya Rey ketika melihat
ternyata ada dua pentungan di dalam tas ransel.
Mas
Hans kaget dan berusaha menutupi pentungan baru itu. Rey heran,
sepengetahuannya selama ini cuma ada satu pentungan milik Hans. Dan
untuk perawatannya selalu dipercayakan pada jeng Pemi. Tapi sekarang mas
Hans memiliki dua pentungan.
“Sudah sana cepat antarkan pentungan itu ke jeng Pemi. Mau tahu urusan orang lain aja,” buru-buru mas Hans menutup pembicaraan.
Rey
pun berlalu dengan segudang pertanyaan. Kenapa mas Hans sekarang punya
dua pentungan? Untuk siapakah pentungan yang satunya lagi? Ah….
Jangan-jangan mas Hans mulai lagi bermain-main dengan pentungannya.
No comments:
Post a Comment