Penakut…!! Aku benci dengan kata “penakut”. Tapi, dua hari lalu, aku akui bahwa diriku memanglah penakut.
Pukul tujuh malam saat itu. Kubimbing
putra keduaku memasuki ruangan operasi. Ditemani putra pertamaku yang
selalu menggandeng tangan adiknya. Sementara istriku, biarlah saja
menunggu diluar. Karena ini adalah urusan para lelaki. Bertiga kami
semua adalah lelaki, tidak boleh ada yang penakut diantara kami. Karena
sesungguhnya lelaki tidak ditakdirkan menjadi penakut.
Kubaringkan putra keduaku penuh kasih di
ranjang operasi. Dibantu para suster dan putra pertamaku. Hari ini sang
adik mau di khitankan. Sebagai umat muslim, salah satu
kewajibanku adalah mengkhitankan atau menyunat anak lelakiku.
“Abang dulu nggak nangis waktu disunat, lho dik…” hibur sang abang ditelinga sang adik.
“Cuma seperti digigit Semut yang keciiiiiiiiiiiiiiill sekali,” dokter juga menambahkan sambil bersiap-siap.
“Yah, dong. Adik kan laki-laki. Sudah
besar dan tidak penakut lagi,” tambahku sembari kuciumi putraku yang
kini hampir enam tahun itu. Wajahnya terlihat begitu pasrah.
Keinginan untuk dikhitan adalah
keinginannya sendiri. Tanpa paksaan ataupun bujukan dari orang-orang
disekitar. Dia tahu, beberapa teman sekolah TK nya sudah dikhitankan
orang tuanya sebelumnya.
Melihat wajah sang adik yang begitu
pasrah, seketika perasaanku berubah menjadi gamang. Ada rasa ketidak
tegaan melihatnya terbaring lemah dan pasrah disitu. Ah, segera
kusingkirkan perasaan gamang itu. Aku tidak boleh terlihat gamang oleh
putraku itu. Bukankah aku ada disampingnya untuk memberikan rasa aman
dan nyaman padanya.
Tapi, aku tidak bisa membohongi diriku
sendiri. Aku benar-benar gamang dengan kenyataan ini. Melihat putraku
tergolek lemah dengan wajahnya yang sungguh pasrah.
“Abang, panggil ibu diluar, nak. Biar ibu saja yang menemani adik,” perintahku pada si abang, putra pertamaku.
“Kenapa? Ayah takut ya, lihat adik
disunat?” dengan polosnya si abang balik bertanya. Rasa-rasanya kata
“takut” adalah lebih pas ketimbang kata “gamang”. Para suster disekitar
tersenyum simpul.
Acara mengkhitankan sang adik sukses
sudah. Tanpa sang ayah yang sedianya mendampingi. Hanya sang ibu yang
akhirnya mendampingi. Kuakui aku memang bukan hanya gamang. Tapi aku
memang takut. Jangankan untuk mendampingi sang adik di khitan.
Membersihkan bekas lukanya yang sudah mengeringpun aku masih saja takut.
Ah, aku memang lelaki penakut…
No comments:
Post a Comment