Ruang konsultasi Klinik Cinta Senter, menjelang subuh. Konsultasi cinta kusut memasuki jam ke enam.
“Sekarang…….. atau engkau akan menyesal seumur hidup,” terdengar suara serak kang Ade.
Hans diam. Kang Ade terbatuk panjang. Matanya meredup, lebih redup dari lampu lima watt. Menahan kantuk yang teramat sangat.
“Jika mas Hans siap kehilangan jeng
Pemi, teruslah bersikap seperti ini. Teruskan keangkuhanmu….” kang Ade
kembali memecah kesunyian, suaranya semakin mengambang. Serangan kantuk
yang teramat sangat. Hans masih terdiam.
“…… Jika mas Hans yakin cinta itu ada
diantara kalian…., temuilah jeng Pemi hari ini. Urai kembali benang
kusut itu. Rajut kembali jalinan cinta. Mantapkan ikrar senasib
sepenanggungan kalian,” sayup suara serak kang Ade sambil berjuang
menahan kantuk. Mas Hans tetap saja dalam diam.
“Mas Hans…, ada lagi yang perlu
dikonsultasikan? Jam praktekku sudah menyalahi jam perijinan. Jika ada
yang perlu dikonsultasikan lagi, sebaiknya besok malam saja kembali
datang, aku ngantuk!!” kang Ade akhirnya membuat kesimpulan. Matanya
memerah di kalahkan sang kantuk. Tapi mas Hans masih bisu dalam diam
yang panjang.
“Mas Hans…, mas Hans…..,” kang Ade bangkit sempoyongan menghampiri mas Hans.
“Iya…. i… ya kang Ade….,” suara pertama mas Hans setelah berjam-jam dalam kebisuan.
“Lho….gimana mas Hans ini? sudah belum
konsultasinya? Ngantuk neh, bete saya lama-lama ngadepin pasien bengong
kayak ente…” kang Ade menceracau… Ah, bukan. Mungkin mengigau karena
kantuk.
“Saya sadar sepenuhnya, kang Ade.
Manalah mungkin aku mampu berpisah dengan jeng Pemi. Ikrar sehidup
semati telah mengikat hati kami… Cinta kami begitu suci, dan takkan
pernah mati,” mas Hans menyahut.
“Terus, kenapa kemarin sampai ada
finish-finishan segala, atuh?” kang Ade sedikit berbinar, kantuknya
sedikit menguap. Sang pasien sudah mulai merespon terapi-terapinya.
“Aku gamang kang, gamang…. Satu bulan
mempersiapkan lamaran adalah mustahil. Jangankan buat acara seserahan,
baju batik untuk lamaran pun cuma punya bekas waktu kunjungan
Ombama kemarin,” mas Hans menunduk.
“Mas Hans, masalah baju batik… masalah
batas waktu satu bulan, itu nomor sekian. Yang utama adalah perasaan
cinta dan rasa saling memiliki diantara kalian. Nanti aku coba bicara
dengan pak Kades dan Mommy. Dengar-dengar pak kades mau menikahkan
Uleng, putri mereka dengan paman petani secepatnya. Mungkin kalian bisa
ikutan minta dinikahkan bareng,” kang Ade tersenyum tulus.
“Benar, kang Ade?” mas Hans menyahut antusias.
“Saya coba bicarakan, mas Hans dan jeng
Pemi berdoa saja. Semoga semua lancar, temui jeng Pemi hari ini, rajut
kembali cinta sejati ini,” kang Ade tersenyum tulus, mengangguk, ada
kehangatan tatapan kasih sayang disitu.
Mas Hans melangkah keluar. Kemana lagi, kalau bukan ke kontrakannya jeng Pemi. Hatinya bergemuruh riang.
“Kawiiiin… kawiiiiinn…….. Bulan depan aku kawiiin…..”
Nyanyian riang antarkan mas Hans kedepan
pintu kontrakan jeng Pemi. Seikat Mawar merah ditangan kiri, pentungan
di tangan kanan, siap antarkan jeng Pemi menyambut ceria pagi. Kembali
memupuk cinta yang telah disemai bersama pujaan hati.
Kawiiiiiiin…….. kawiiiiinn…… Bulan depan aku kawiiiiiinn……….
No comments:
Post a Comment