****
Sore itu di telaga tujuh, Repotter
berdiri di tepiannya, lalu dia melemparkan sesuatu di pegangan
tangannya, dalam hatinya ia pun berkata, “Beruntung aku belum
mengirimkam Kalung dengan liontin “D” ini.”
Repotter duduk termenung.
“Sebenarnya Kalung itu Mas Hans yang kirim, tapi bukan untuk Mom…… tapi untuk Jingga……” demikian kata-kata Hans yang selalu terngiang di telinga Repotter.
Jingga……
Jingga…… Yang inisialnya diganti menjadi Djingga…… Gara-gara Hans
selalu ingat rokok kretek kesukaannya, sekaligus mengagumi kecantikan
Jingga si anak sulung bu Kades, maka Jingga dipanggil Hans dengan panggilan sayangnya Djingga.
“Huhhh…… Kenapa aku selalu terlambat…? Benar kata Kembang, bahwa aku memang terlalu banyak berpikir. Sehingga selalu didahului orang……” Repotter mengutuk dirinya sendiri.
“Kenapa
juga mas Hans menjadi tertarik pada Jingga? Kenapa pula aku tidak dari
dulu mengutarakan isi hatiku pada Jingga……” tak henti-hentinya
Repotter menyesali keadaan dirinya yang selalu didahului orang.
“Ah
biarlah, mungkin memang sudah nasibku. Selalu menjadi orang yang
tersisih. Tapi biarpun aku tersisih, setidaknya aku sudah bisa
mengungkap misteri liontin “D” ini…” Repotter berusaha menghibur diri.
Kembali
Repotter termenung dalam diam. Pikirannya menerawang jauh. Lalu
tiba-tiba dia berdiri seperti tersadar. Tanpa ba bi bu langsung
menceburkan diri kedalam telaga. Berusaha mencari liontin “D” yang tadi
dilemparnya.
Sekuat tenaga dia berusaha mencari kembali liontin di dasar telaga. Semangatnya tumbuh untuk menemukan kembali liontin itu.
“Biarpun Djingga telah di taksir mas Hans, toh masih ada “D” yang lain. Masih ada Tante Deasy, tantenya Djingga. Tidak dapat keponakannya, pasti dapat tantenya….!!”
Tekad Repotter semakin kuat ketika dia menemukan kembali liontin “D” yang dibuangnya tadi.
No comments:
Post a Comment