Dini hari di pos Hansip. Empat lelaki menahan kantuk, bertemankan rokok kretek dan kopi hitam.
Lala dan Rey duduk berhadapan. Pertarungan di papan catur sedang dimainkan. Di pojok, Rizal Falih
si repotter memegang perut yang keroncongan. Matanya melirik kearah
bungkusan gorengan yang belum juga disajikan. Perutnya mulas menahan
lapar.
“Makanya kalau begadang sekali-kali bawa modal,” kata Hans sambil cengengesan.
“Wah sering dia bawa… Bawa masalah maksudnya… Kemarin malah bawa keributan…,” canda Lala.
Semua tertawa terpingkal-pingkal. Tanpa disadari ternyata si repotter sudah hilang berlalu.
“Paling patroli ke rumah janda tuh….,” sahut Lala lagi.
Rey mendadak kaget, begitu nama janda disebut-sebut. Jangan-jangan si repotter mau ke rumah sang janda kembang.
“Wah… Mas Lala jangan ngompor-ngomporin nih,” Rey menjadi cemas.
“Bukan ngomporin… Analisa kebiasaan…..,” lagi-lagi Lala berteori.
“Wah… Rey…. Cepat cegat….!!” tambah Hans ikut ngomporin.
Hati Rey berkecamuk didera rasa cemburu.
“Ah…… Biar sajalah Komandan… Kan repotter jalan ke rumah janda gado-gado….,” sahut Rey menghibur diri.
Hans dan Lala tersenyum.
“Hoaaahhmm… Aku muter dulu, yah. Rumah jeng Pemi harus di kontrol nih. Akhir-akhir ini jeng Pemi suka ngigau…, apalagi kalo habis nonton film horror,” pamit Hans.
*******
Pagi hari, suasana pos Hansip sedikit kelabu. Rey mendadak murung tak mau diganggu. Gara-gara berita yang di bawa Uleng.
“Semalam mas repotter membetulkan genteng dirumah janda kembang……,” kata Uleng tanpa perasaan bersalah.
No comments:
Post a Comment