Pukul sepuluh pagi. Kafe Nuansa Hijau, Plaza Senayan.
Satu
jam sudah waktu berlalu dari janji pertemuan, namun Lidya belum juga
datang. Jarum jam seolah mengejek dan menertawakan. Menunggu memang
selalu menyakitkan. Cangkir ketiga cappuccino pun tandas. Asap Marlboro
mengepul mengabutkan pandangan.
Hans
masih menanti. Menanti Lidya datang dengan atasan blazer putih. Hari
ini mereka akan bertemu didunia nyata. Untuk saling mengungkapkan cinta
yang sebenarnya cinta.
Dua
bulan sudah perkenalannya dengan Lidya di dunia maya. Lidya, wanita
yang telah menerbangkan angan dan mimpinya. Yang telah menjadikannya
lupa pada apa yang harus dilakoninya didunia nyata. Wanita yang
menurutnya begitu sempurna.
Starbucks Coffe, Plaza senayan, sebelah kafe Nuansa Hijau.
Wanita
berblazer putih itu diam membisu. Tidak ada yang tahu, sudah satu jam
dia duduk disitu. Mengamati dari kejauhan lelaki yang menanti di kafe
sebelah. Hatinya hancur oleh sebuah kata, kesetiaan.
Dari
sisa ketegaran yang berserakan, wanita berblazer putih itu masuk ke
kafe Nuansa Hijau. Anggun langkahnya sedikit gontai karena kecewa. Hans
terpana saat wanita berblazer putih datang menghampiri. Dia adalah
tunangannya yang bulan depan akan dia nikahi.
“Akulah
wanita bernama Lidya itu, dan aku lah yang sudah hadir di dunia mayamu
sejak dua bulan lalu….” Tatapan mata Pemi tajam menusuk Hans.
“Pemi……, jadi kamu adalah…… Lidya itu….?” Hans tercekat.
“Benar,
Hans. Aku adalah Lidya itu. Terimakasih untuk semua yang telah kau
beri. Rasa ini telah cukup mengerti sebatas mana kesetiaan itu ada
diantara kita, selamat tinggal” Pemi berlari menyembunyikan tangisnya
yang tertahan.
Hans
terdiam tak bisa berkata apa-apa. Kesadarannya hilang bergantikan
kalut, dicobanya mengejar Pemi. Tangannya replek menjatuhkan cangkir
cappuccino.
Praang…. Cangkir hancur berkeping di lantai, seperti hancurnya hati Pemi.
“Pemi………..!!” Hans berteriak dalam galau.
No comments:
Post a Comment