Sudah seminggu surat bersampul biru itu tergeletak di pojok ruangan praktek jeng Pemi. Ada rasa enggan di benaknya. Jangankan untuk membuka dan membaca surat itu. Mengingat nama mas Hans, si pengirim surat itu pun sudah cukup membuat dirinya mual
Dasar Buaya Rangkat….., sekali Buaya
tetaplah Buaya, tidak akan pernah berubah jadi Panda. Buat apa aku
membaca surat itu, kalau pada akhirnya hatiku merana? Mana bukti
ucapanmu bahwa kita adalah senasib sepenanggungan? Huh…. Jeng Pemi tak henti-hentinya mengomel dalam hati. Benar-benar dongkol hatinya saat ini.
Hanya karena seorang Miss Rochma
engkau tega mengingkari ikrar kita? Ikrar bahwa kita adalah satu, satu
rasa, satu nasib dan satu sepenanggungan. Apa yang membuatmu berpaling
pada si Miss itu? Kalau masalah body, bisa di adu kaleee…. Kesetiaan?
Jangan pernah ragukan kesetiaanku sih, mas Hans. Atau mungkin karena Miss Rochma abdi masyarakat?
Okelah, si Miss Rochma yang guru desa Rangkat memang abdi masyarakat. Tapi aku kan sebagai pemijit juga abdi dan pelayan masyarakat?
Kalau bukan karena terbuai rayuan mulut
manismu, mungkin hari ini aku sudah jauh berada di belahan bumi yang
lain. Entah itu di negeri Ombama, Singaparna (bukan Singapura yah..),
atau mungkin di NY (Ngayogyakarta maksudnya) untuk menggapai mimpiku
sebagai pemijat keliling kelas dunia. Tapi karena aku teguh memegang
setia ikrar kita sebagai TTM yang senasib sepenanggungan, maka sampai
hari ini aku masih rela menjadi pemijat disini
.
Jeng Pemi teringat, bagaimana dulu dirinya sudah berkorban banyak untuk mas Hans. Pinangan dari juragan Rawa ditolaknya mentah-mentah. Dulu juragan Rawa berjanji
akan menghadiahkan sebuah helikopter mewah dan seekor Kuda Australia
jika pinangannya diterima. Sebagai bukti juragan akan memenuhi
janjinya, malah juragan sudah membelikannya ranjang pengantin. Kata
juragan sebagai tanda jadi, atau semacam uang muka lah. Tapi demi mas Hans, pinangan itu ditolaknya.
Aku cuma mengambil ranjang pengantinnya saja. Kan lumayan… kenang jeng Pemi sedih.
Padahal apa sih yang di punyai mas Hans?
yang paling berharga cuma pentungan. Itupun kepunyaan inventaris desa,
sudah tidak orisinil, dan tidak ada privasinya lagi. Karena hampir
semua gadis di desa Rangkat pernah memegang dan merasakan dititipin
pentungan itu. Dari mulai Uleng sampai bu Nyimas si pemilik warnet.
Kini pentungan itu berada di tangan Miss Rochma si guru desa. Yang sangat menyebalkan hati jeng Pemi adalah, Miss Rochma selalu memperlambat langkahnya setiap kali melewati rumah jeng Pemi setiap berangkat mengajar ke sekolah. Dengan pentungan mas Hans yang di jepit mesra di ketiaknya, seolah-olah Miss Rochma mau mengatakan sesuatu, nih jeng…… lihat nih pentungannya mas Hans, semalam di tempat aku lo……
Untuk mengusir kegalauan dan sakit hatinya, jeng Pemi pun mulai bernyanyi-nyanyi kecil. Menyanyi adalah terapi bagi kegalauan hati yang sedang menderita, begitulah saran dari Mamak Ketol yang
berkunjung ke desa Rangkat sewaktu studi banding beberapa waktu lalu.
Dicobanya untuk menguatkan hati nya dengan lagu-lagu penyanyi
kembarannya Alda. Lagu-lagu yang bisa membangkitkan semangatnya untuk
tetap bertahan dan melanjutkan hidup. Yah, life must go on jeng….
Aku tak binasa…. Bila tiada kau disisiku…..
Aku tak binasa bila Ku… Tak mendengar, kentonganmu….. Aku tak binasa…..
Kemudian dilanjutkan dengan penggalan lagu bintang pujaannya yang lain….Ternyata tanpamu langit masih biru…
Ternyata tanpamu bungapun tak layu
Ternyata pijit tak berhenti berputar walau kau tak memilihku…..
Weeeeee….. Biar kuputuskan saja, ku tak mau batinku terluka…
Lebih baik ku putuskan saja… Cari hansip lagi……
………….
…………..
…………….
Mengikuti jejak sang Juragan Rawa, ikutan BERSAMBUNG ah……………………….
(Itung2 sekalian mengintai, karena denger2 juragan Rawa mau melakukan penculikan jilid 2)
No comments:
Post a Comment