Wednesday, May 16, 2012

Bulan Depan Aku Kawin (Episode Cinta Rangkat #52)



Ruang konsultasi Klinik Cinta Senter, menjelang subuh. Konsultasi cinta kusut memasuki jam ke enam.
“Sekarang…….. atau engkau akan menyesal seumur hidup,” terdengar suara serak kang Ade. 

Hans diam. Kang Ade terbatuk panjang. Matanya meredup, lebih redup dari lampu lima watt. Menahan kantuk yang teramat sangat. 

“Jika mas Hans siap kehilangan jeng Pemi, teruslah bersikap seperti ini. Teruskan keangkuhanmu….” kang Ade kembali memecah kesunyian, suaranya semakin mengambang. Serangan kantuk yang teramat sangat. Hans masih terdiam. 

“…… Jika mas Hans yakin cinta itu ada diantara kalian…., temuilah jeng Pemi hari ini. Urai kembali benang kusut itu. Rajut kembali jalinan cinta. Mantapkan ikrar senasib sepenanggungan kalian,” sayup suara serak kang Ade sambil berjuang menahan kantuk. Mas Hans tetap saja dalam diam. 


“Mas Hans…, ada lagi yang perlu dikonsultasikan? Jam praktekku sudah menyalahi jam perijinan. Jika ada yang perlu dikonsultasikan lagi, sebaiknya besok malam saja kembali datang, aku ngantuk!!” kang Ade akhirnya membuat kesimpulan. Matanya memerah di kalahkan sang kantuk. Tapi mas Hans masih bisu dalam diam yang panjang. 

“Mas Hans…, mas Hans…..,” kang Ade bangkit sempoyongan menghampiri mas Hans. 

“Iya…. i… ya kang Ade….,” suara pertama mas Hans setelah berjam-jam dalam kebisuan. 

“Lho….gimana mas Hans ini? sudah belum konsultasinya? Ngantuk neh, bete saya lama-lama ngadepin pasien bengong kayak ente…” kang Ade menceracau… Ah, bukan. Mungkin mengigau karena kantuk. 

“Saya sadar sepenuhnya, kang Ade. Manalah mungkin aku mampu berpisah dengan jeng Pemi. Ikrar sehidup semati telah mengikat hati kami… Cinta kami begitu suci, dan takkan pernah mati,” mas Hans menyahut. 

“Terus, kenapa kemarin sampai ada finish-finishan segala, atuh?” kang Ade sedikit berbinar, kantuknya sedikit menguap. Sang pasien sudah mulai merespon terapi-terapinya. 

“Aku gamang kang, gamang…. Satu bulan mempersiapkan lamaran adalah mustahil. Jangankan buat acara seserahan, baju batik untuk lamaran pun cuma punya bekas  waktu kunjungan Ombama kemarin,” mas Hans menunduk. 

“Mas Hans, masalah baju batik… masalah batas waktu satu bulan, itu nomor sekian. Yang utama adalah perasaan cinta dan rasa saling memiliki diantara kalian. Nanti aku coba bicara dengan pak Kades dan Mommy. Dengar-dengar pak kades mau menikahkan Uleng, putri mereka dengan paman petani secepatnya. Mungkin kalian bisa ikutan minta dinikahkan bareng,” kang Ade tersenyum tulus. 

“Benar, kang Ade?” mas Hans menyahut antusias. 

“Saya coba bicarakan, mas Hans dan jeng Pemi berdoa saja. Semoga semua lancar, temui jeng Pemi hari ini, rajut kembali cinta sejati ini,”  kang Ade tersenyum tulus, mengangguk, ada kehangatan tatapan kasih sayang disitu. 

Mas Hans melangkah keluar. Kemana lagi, kalau bukan ke kontrakannya jeng Pemi. Hatinya bergemuruh riang. 

“Kawiiiin… kawiiiiinn…….. Bulan depan aku kawiiin…..” 

Nyanyian riang antarkan mas Hans kedepan pintu kontrakan jeng Pemi. Seikat Mawar merah ditangan kiri, pentungan di tangan kanan, siap antarkan jeng Pemi menyambut ceria pagi. Kembali memupuk cinta yang telah disemai bersama pujaan hati.

Kawiiiiiiin…….. kawiiiiinn…… Bulan depan aku kawiiiiiinn……….

No comments:

Post a Comment