Thursday, May 17, 2012

Mengincar Pemegang Paspor TKI di Bandara Soeta

Topik pilihan Kompasiana kali ini yang bertajuk “Kriminalisasi TKI di Bandara” akhirnya menggoda saya untuk ikut menuliskan beberapa opini dan unek-unek selama bersinggungan dengan pelayanan di bandara ini. Sebagai salah satu TKI, keberadaan bandara internasional Soekarno-Hatta adalah bagian dari lokasi peran yang  kujalani semenjak tahun 2006. Keberangkatan dan kedatanganku melalui bandara ini sekitar tiga sampai lima kali setahun.

Liputan atau tulisan keberadaan terminal khusus TKI yang dijadikan “sarang” untuk memeras para TKI yang baru datang kembali ke tanah air sudah tak terhitung jumlahnya. Salah satu cerita tentang pemerasan yang mungkin terjadi di terminal khusus TKI itu bisa dilihat di tulisannya rekan Kompasianer kita Mukti Ali.


Bagaimana praktek “pemerasan” yang dilakukan oknum-oknum di terminal khusus TKI, saya tidak bisa menceritakan. Karena sejauh ini saya tidak pernah berurusan langsung dengan keberadaan terminal khusus TKI ini. Setelah pemeriksaan akhir dari counter imigrasi, biasanya langsung menuju ke belt conveyor tempat pengambilan bagasi. Setelah itu langsung menuju pintu keluar bandara.

Lalu, dimana keberadaan terminal khusus TKI-nya? Bukankah sebagai salah satu TKI saya seharusnya digiring atau diarahkan menuju terminal khusus TKI? Selain saya sendiri banyak juga para TKI yang tanpa hambatan langsung keluar bandara setelah mengambil bagasinya. Namun, banyak juga TKI (mayoritas TKW) yang ditahan sebelum mencapai pintu keluar terakhir.

Diskriminasi? Bagaimana cara mereka membedakan antara TKI yang harus digiring ke terminal khusus TKI atau dibiarkan melenggang keluar bandara? Apa bedanya penampilan TKI dengan penumpang non TKI? Nampaknya itu adalah salah satu keahlian khusus para petugas yang memang dilatih untuk itu. Dengan hanya mengamati gerak-gerik para penumpang, mereka akan tahu mana TKI yang akan mereka giring menuju terminal khusus.

Yang menjadi incaran mereka adalah para TKI/TKW pemegang paspor yang pada lembar halaman paspornya tertulis sebagai berikut: (lihat contoh ilustrasi no.1 berikut)

13321143631338783531

Disitu tertulis: KANTOR YANG MENGELUARKAN / ISSUING OFFICE: SUB DIT. DOKLAN TKI

Jika mereka menemukan paspor seperti ini, hampir dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan akan digiring menuju ke terminal khusus TKI. Karena pemegang paspor seperti inilah yang mereka anggap TKI/TKW.
Bandingkan dengan paspor pribadi pada ilustrasi berikut ini:
1332113004832400612
Disitu tertulis: KANTOR YANG MENGELUARKAN / ISSUING OFFICE: CILEGON. CILEGON adalah kota tempat paspor diterbitkan. Penumpang biasa ataupun TKI formal menggunakan paspor seperti ini.

Para penumpang lainnya termasuk saya sendiri adalah TKI yang bekerja di luar negeri. Dan saya memegang paspor seperti ilustrasi gambar no.2. Tapi kenapa hanya pada rekan-rekan TKI yang memegang paspor seperti ilustrasi no.1 yang mereka incar? Lalu kenapa pula pemerintah mengeluarkan jenis paspor seperti ilustrasi no.1? Untuk pemberlakuan diskriminasi-kah?

Apa kriterianya seseorang itu disebut TKI? Karena bekerja di luar negeri? Jika begitu tentu ibu Sri Mulyani yang bekerja sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia yang bermarkas di Amerika adalah juga seorang TKI/TKW. Dan tentu saja jika ibu Sri Mulyani jika pulang ke Indonesia harus mereka giring juga ke terminal khusus TKI. Apakah mereka berani?
**********

Pernah, bahkan seringkali saya membantu TKW untuk ikut keluar dari bandara bersamaan dengan saya. Dengan cara paspor rekan TKW itu saya yang memegang. Tentu selalu ada pertanyaan dari petugas tentang identitas rekan TKW yang di sebelah saya.

“Beliau adalah saudara saya…..” kalimat itu yang selalu kuucapkan.

Dan setiap kali petugas mau memeriksa paspor rekan TKW itu, maka akan terjadi debat berkepanjangan. Karena sepengetahuanku yang berhak memeriksa paspor seseorang adalah petugas imigrasi. Namun kegigihan mereka untuk menggiring rekan-rekan TKI/TKW sangat luar biasa. Terkadang dengan sedikit intimidasi.

“Ini adalah peraturan….. Peraturannya seperti itu, Pak…!!” sepertinya itu adalah kalimat ajaib yang selalu mereka ucapkan. Namun ketika ditanyakan mana peraturannya? Mana juklaknya? Mereka akan kebingungan untuk menjawabnya.

Keberadaan terminal khusus TKI seyogyanya diperuntukkan untuk membantu para rekan-rekan TKI/TKW yang kesulitan untuk pulang ke kampung halamannya. Jika rekan TKI/TKW tersebut ada yang menjemput di luar bandara sana, toh buat apa lagi mereka diharuskan masuk ke terminal khusus TKI?

Bukan cerita yang lucu ketika tahun lalu sewaktu aku pulang sempat melihat seorang TKW yang baru datang dari Arab Saudi bersitegang dengan petugas. Rekan kita TKW ini berulangkali menjelaskan pada petugas bahwa dirinya bertempat tinggal di kampung Rawa Bokor. Rawa Bokor adalah Kelurahan yang terletak persis di belakang bandara Soekarno-Hatta. Dan keluarga yang menjemputnya sudah berteriak-teriak dari balik kaca lobi terminal kedatangan.

Bagaimana mungkin TKW itu dipaksa masuk ke terminal khusus TKI untuk menggunakan transportasi dari mereka. Sementara selepas pintu keluar, andaikan tidak ada anggota keluarga yang menjemput, akan ada banyak ojek yang siap mengantar ke rumahnya dengan jarak tempuh hanya dalam belasan menit? Sementara kalau masuk terminal khusus mungkin harus menunggu keesokan harinya baru diberangkatkan. Itupun setelah ratusan ribu rupiah berpindah tangan pada mereka.

Hilangkan pembedaan paspor untuk TKI dengan paspor penduduk biasa.  Karena ini adalah salah satu celah bagi oknum-oknum itu untuk mengidentifikasi para TKI. Dan sudah selayaknya keberadaan terminal khusus TKI ditiadakan. Karena hanya akan menjadikan pemerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum itu seolah-olah adalah legal. Demikian dua poin yang coba saya garis bawahi melalui tulisan ini.



Salam BMI…
* Tulisan lainnya tentang kisah ketika berhadapan dengan petugas yang mengincar TKI untuk digiring ke terminal khusus: Berdebat dengan Penjaga Pintu TKI
**********

No comments:

Post a Comment