Wednesday, May 16, 2012

Aku Memang Lelaki Penakut



Penakut…!! Aku benci dengan kata “penakut”. Tapi, dua hari lalu, aku akui bahwa diriku memanglah penakut.
Pukul tujuh malam saat itu. Kubimbing putra keduaku memasuki ruangan operasi. Ditemani putra pertamaku yang selalu menggandeng tangan adiknya. Sementara istriku, biarlah saja menunggu diluar. Karena ini adalah urusan para lelaki. Bertiga kami semua adalah lelaki, tidak boleh ada yang penakut diantara kami. Karena sesungguhnya lelaki tidak ditakdirkan menjadi penakut.
Kubaringkan putra keduaku penuh kasih di ranjang operasi. Dibantu para suster dan putra pertamaku. Hari ini sang adik mau di khitankan. Sebagai umat muslim, salah satu kewajibanku adalah mengkhitankan atau menyunat anak lelakiku.

“Abang dulu nggak nangis waktu disunat, lho dik…” hibur sang abang ditelinga sang adik.
“Cuma seperti digigit Semut yang keciiiiiiiiiiiiiiill sekali,” dokter juga menambahkan sambil bersiap-siap.
“Yah, dong. Adik kan laki-laki. Sudah besar dan tidak penakut lagi,” tambahku sembari kuciumi putraku yang kini hampir enam tahun itu. Wajahnya terlihat begitu pasrah.
Keinginan untuk dikhitan adalah keinginannya sendiri. Tanpa paksaan ataupun bujukan dari orang-orang disekitar. Dia tahu, beberapa teman sekolah TK nya sudah dikhitankan orang tuanya sebelumnya.
Melihat wajah sang adik yang begitu pasrah, seketika perasaanku berubah menjadi gamang. Ada rasa ketidak tegaan melihatnya terbaring lemah dan pasrah disitu. Ah, segera kusingkirkan perasaan gamang itu. Aku tidak boleh terlihat gamang oleh putraku itu. Bukankah aku ada disampingnya untuk memberikan rasa aman dan nyaman padanya.
Tapi, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku benar-benar gamang dengan kenyataan ini. Melihat putraku tergolek lemah dengan wajahnya yang sungguh pasrah.
“Abang, panggil ibu diluar, nak. Biar ibu saja yang menemani adik,” perintahku pada si abang, putra pertamaku.
“Kenapa? Ayah takut ya, lihat adik disunat?” dengan polosnya si abang balik bertanya. Rasa-rasanya kata “takut” adalah lebih pas ketimbang kata “gamang”. Para suster disekitar tersenyum simpul.
Acara mengkhitankan sang adik sukses sudah. Tanpa sang ayah yang sedianya mendampingi. Hanya sang ibu yang akhirnya mendampingi. Kuakui aku memang bukan hanya gamang. Tapi aku memang takut. Jangankan untuk mendampingi sang adik di khitan. Membersihkan bekas lukanya yang sudah mengeringpun aku masih saja takut.
Ah, aku memang lelaki penakut…

No comments:

Post a Comment